Orang-orang Jepang dikenal kreatif, inovatif, inventif dan produktif. Banyak bukti dapat dikemukakan mengenai kreativitas mereka. Jauh sejak pulih dari kehancuran akibat perang dunia II jepang bangkit kembali. Dalam kurun waktu sekitar dua dasawarsa, jepang muncul seabagai raksasa ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jerman barat (Sebelum reunifikasi). Feature tentang orang jepang menggambarkan, ada-ada saja akal mereka untuk mengisi kehidupannya secara bermakna, mulai kertas sampai robot yang dapat memainkan alat musik mengikuti program computer. Ditangan mereka banyak hal-hal yang kelihatannya sepele menjadi serba mencengangkan. Apabila melihat sejarah dimulai restorasi Meiji konfigurasi perkembangan masyarakat jepang cenderung linear dan hanya peranglah yang menyebabkan konfigurasi itu mengalami diskotunuitas. Pengalaman pahit perang dunia II merangsang Jepang untuk melihat peluang lain di luar ekspansi militer. Jepang berpaling ke ekspansi ekonomi dan perdagangan dengan meningkatkan industrinya. Ada keyakinan di kalangan bangsa jepang bahwa bekerja merupakan pengabdian yang suci. Uang dan keuntungan materi bagi mereka sangat penting, tetapi tidaklah penting dari menunaikan usaha tugas suci, yaitu bekerja. Karena itu dalam persepsi orang luar, orang jepang dinilai gila kerja (work alcoholic). Akan tetapi dalam presepsi budaya jepang memang begitu seharusnya. Orang Jepang memiliki daya tahan dan kegigihan dalam bekerja keras. Mereka cenderung tidak lekas puas atas hasil kerjanya(delay gratification). Mereka sanggup bekerja lama dan keras untuk menjadi obsesinya tanpa cepat-cepat ingin menjadi pimpinan mendapatkan gaji besar dan bersenang-senang. Sikap tidak lekas puas atas hasil kerjanya dilatih dalam lingkungan rumah, sekolah dan dunia usaha. Orang Jepang memiliki keyakinan bahwa melalui kerja keras, mereka yakin dapat mencapai apa yang disebut “satori” yaitu tingkat berpikir tertinggi pada orang Jepang. Satori terjadi apabila berpikir logis, imajinatif dan intuinitif terjadi secara serempak. Satori tidak datang begitu saja melainkan melalui kerja keras. Orang harus mencintai apa yang dikerjakannya, melakukan terus menerus melalui disiplin diri, keteguhan dan ketekunan, kerja keras, usaha, kompetensi dan kehlian yang relevan. Keyakinan ini sesuai dengan ucapan Thomas Alva Edison, bahwa prestasi lahir 99% kerja keras dan 1% karena ilham.. Jalan menuju Satori melalui pembinaan kegigihan dan kerja keras dilakukan orang-orang Jepang. Perusahaan-perusahaan di jepang melakukan latihan ketahanan bagi para pegawai barunya. Mereka diajak berjalan 25 mil yang dibagi dalam tiga tahap. Pada sembilan mil pertama mereka berjalan bersama-sama. Pada sembilan mil berikutnya mereka dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan mereka berjalan sesuai dengan kelompoknya. Akhirnya, pada tujuh mil berikutnya mereka diharuskan berjalan sendirian Tanpa melirik kanan kiri dan tanpa bicara. Kolektivitas dan tanggung awab pribadi merupakan ciri kerja khas budaya dalam perusahaan-perusahaan Jepang. Bagi mereka hal itu sangat penting karena ketika memasuki lingkungan kerja, misalnya masuk suatu perusahaan mereka akan menjalaninya seumur hidup. Berbeda dengan di Amerika Serikat berpindah-pindah keja praktis tidak populer di Jepang. Perusahaan tempatnya bekerja ibarat miliknya sendiri. Dengan demikian, prestasi-prestasi kreatif, inovatif dan produktif manusia jepang bukan hanya karena secara genetic mereka unggul melainkan semata-mata hasil kerja keras, kegigihan, percaya diri dan sikap pantang menyerah. Sikap-sikap ini tidak datang karena mukzijat, melainkan dilatih, dibiasakan dan di budayakan dalam lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan dan kehidupan masyarakat.
Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments:

 
Top